Kematian
mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada
sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya
nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu
pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana
kematian akan menjemputnya.
Ketika
seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring
dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat
melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya
ayat 1, “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang
mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).”
Ketika jatah
waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan
tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan
kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan.” Tapi sayang,
permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada
perundingan.
Allah swt
berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, “Dan berikanlah peringatan kepada
manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka
berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun
dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan
mengikuti rasul-rasul….”
Kematian
mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan
dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir
segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika
sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran
yang sebenarnya.
Lalu, masih
kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap
selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal,
sandiwara sudah berakhir.
Sebagus-bagusnya
peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga
ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan
sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk
selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan
kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.
Teramat naif
kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang
kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang
merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir.
Dan akhir itu semua adalah kematian.
Kematian
mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Fikih Islam
menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang
lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat
jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain
kafan itu.
Itu pun
masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh
kecil yang telanjang.
Lalu, masih
layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan.
Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita
datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak
berharga.
Ternyata,
semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai,
kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu,
masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa.
Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran
yang pernah kita mainkan.
Kematian
mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan
kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia
akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia
bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat
ini.
Ketika
sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian
berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan
berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari
siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
Kematian
mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba
Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat
berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas
akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan
sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang
harus dikembalikan.
Mungkin,
inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat
77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
dunia…” dengan menyebut, “Ad-Dun-ya mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang
buat akhirat)
Orang yang
mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat
sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat.
Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar